Dalam dunia akademik, satu indikator kuat performa seorang akademisi adalah publikasi ilmiah. Publikasi ilmiah menunjukkan tingkat kontribusi seorang akademisi terhadap ilmu pengetahuan. Di Indonesia sendiri, walaupun dengan segala keterbatasannya, ternyata banyak juga akademisi yang mampu tetap produktif menelurkan publikasi ilmiahnya. Pertanyaan yang sering terlintas di pikiran saya: dari mana mereka, para akademisi yang produktif itu, memperoleh pendidikan PhD-nya? Apakah ada korelasi yang kuat antara almamater PhD dan produktifitas dalam hal publikasi setelah kembali ke Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan iseng itulah yang membuat saya kepo satu per satu nama-nama top Indonesia di Scopus.

Sebelum saya berbicara lebih jauh, mungkin ada yang bertanya, “Kenapa Scopus yang dijadikan acuan? Bukankah sudah banyak yang antipati sama Scopus dan anti Scopusasi katanya?” Jawaban saya simpel saja, karena sepertinya hampir semua akademisi di Indonesia kenal Scopus tapi ndak semuanya kenal Web of Science.

Nah, untuk mencari tahu apa korelasi antara almamater PhD dengan produktifitas publikasi, saya akan ‘menginvestigasi’ nama-nama yang menduduki top 10 daftar publikasi terindeks Scopus di kampus Top 4 PTN Indonesia (UGM, UI, ITB, ITS) plus kampus tempat kerja saya, UII, yang juga kampus top lho :). Jadi, saya mencari tahu data 10 x 5 = 50 orang. Ghibah dong? Karena beliau-beliau yang saya sebut ini terbukti produktif dan berprestasi, anggap saja ghibah yang hasanah :). Yang pasti, jangan ambil kesimpulan dulu sebelum membaca tulisan ini sampai akhir.

Kampus Negeri

Mari kita mulai dari almamater saya tercinta, UGM (lihat Gambar 1). Ternyata dari 10 orang yang ada puncak, 4 orang diantaranya adalah dosen-dosen saya di Jurusan Teknik Elektro (sekarang bernama Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi), inspiring. Di luar 4 orang itu, beberapa saya tahu orangnya. No 1, Prof Abdul Rohman, adalah guru besar Farmasi UGM, sedangkan No 5, Prof Kuwat Triyana, dari MIPA. Saya tahu keduanya sewaktu ikut pelatihan sertifikasi Lab berbasis ISO 17025 di LPPT UGM tahun 2014 (waktu itu saya masih kerja di UGM). Kebetulan beliau berdua menjadi pemateri di acara itu.

Gambar 1. Top scopus UGM

Selanjutnya, mari beralih ke UI. Top 10 Scopus universitas di dekat ibu kota ini ada di Gambar 2. Terus terang, dari kesepuluh nama yang tertampil, hampir tidak ada nama yang familiar atau saya kenal secara personal. Kalaupun ada yang saya tahu, paling Prof. Wisnu Jatmiko saja, mengingat posisi beliau sebagai IEEE Indonesia Section Chair.

Gambar 2. Top scopus UI

Berikutnya, giliran ITB. Lihat Gambar 3 untuk daftar lengkap Top 10-nya.

Gambar 3. Top scopus ITB

PTN terakhir yang saya “investigasi” adalah ITS. Hasil screeshot-nya ada di Gambar 4.

Gambar 4. Top scopus ITS

Setelah mencari di berbagai sumber, akhirnya saya dapatkan data almameter PhD ke-40 orang yang saya screenshot di atas. Data-nya ada di tabel berikut:

No

UGM

UI

ITB

ITS

1

Universiti Putra Malaysia (Malaysia)

Universitas Indonesia (Indonesia)

Yamaguchi University (Jepang)

Osaka City University (Jepang)

2

Universiti Teknologi Petronas (Malaysia)

Nagoya University (Jepang)

Nagoya University (Jepang)

University of New Brunswick (Kanada)

3

-

Philips Universitat Marburg (Jerman)

Hiroshima University (Jepang)

Institut Teknologi Bandung (Indonesia)

4

Monash University (Australia)

University of Toronto (Kanada)

Hiroshima University (Jepang)

Hiroshima University (Jepang)

5

Kyushu University (Jepang)

University of Leeds (Inggris)

Tokyo Institute of Technology (Jepang)

Tohoku University (Jepang)

6

Universiti Teknologi Petronas (Malaysia)

Tohoku University (Jepang)

Hiroshima University (Jepang)

Kumamoto University (Jepang)

7

Tokushima University (Jepang)

Universitas Indonesia (Indonesia)

Tokyo Institute of Technology (Jepang)

Universitas Gadjah Mada (Indonesia)

8

King Mongkut’s Institute of Technology Ladkrabang (Thailand)

Johannes Gutenberg Univesitat Mainz (Jerman)

Northwestern University (Amerika Serikat)

Curtin University (Australia)

9

Keio University (Jepang)

RWTH Aachen (Jerman)

University of Newcastle (Australia)

Carleton University (Kanada)

10

Imperial College London (Inggris)

Saitama University (Jepang)

University of Tokyo (Jepang)

Tokyo Institute of Technology (Jepang)

Ada beberapa hal yang saya catat dari data ini:

  • Dari 40 orang di atas, mayoritas-nya (19 orang) adalah lulusan Jepang, sisanya dibagi ke beberapa negara lain: Indonesia (4), Jerman (3), Australia (3), Kanada (3), Malaysia (3), Inggris (2), Amerika Serikat (1), dan Thailand (1). Yang lulusan Jepang itu pun sangat bervariasi universitasnya. Tidak semuanya dari universitas top macam Todai atau Tokodai (Tokyo Tech).
  • Menariknya, nama paling atas untuk keempat PTN tersebut bukan lulusan perguruan tinggi top dunia. Di UGM, nomor wahid-nya jebolan UPM. UPM ini bahkan bukan universitas paling top di Malaysia seperti University of Malaya. No 2-nya juga lulusan Universiti Teknologi Petronas, yang walaupun bagus, tetap saja bukan paling top di Malaysia. Di ITB dan ITS, nama universitas-nya malah saya baru dengar (walaupun di Jepang). Kalau dengar Jepang, yang terlintas di benak saya ya Todai, Tokodai, Kyudai. Di UI malah lebih wow, lagi. Nomor wahid-nya malah lulusan lokal.
  • Poin no 2 saya sebut menarik karena saya masih ingat betul ada seorang profesor di salah satu dari PTN di atas yang agak antipati sama Malaysia. Beliau-nya bilang sekolah di Malaysia itu ndak bagus, apalagi kalau dibandingkan di Eropa. Ya memang pernyataan beliau ini patut direnungkan dari segala aspek. Tapi kalau berbicara sekolah PhD, yang “produk”-nya adalah para peneliti dan “produknya peneliti” salah satunya adalah publikasi, nyatanya para lulusan Malaysia di atas mampu outperform koleganya lulusan universitas top di Eropa atau di negara maju lain.

Kampus Swasta

Nah, setelah investigasi para akademisi di PTN, mari kita beralih ke PTS. Kenapa PTS saya pisahkan? Ya karena menurut saya, PTN dan PTS di Indonesia kondisinya memang berbeda. PTN itu, apalagi empat PTN di atas, setiap tahun menerima limpahan talenta-talenta terbaik dari seluruh penjuru Indonesia. Selain itu, PTN juga merupakan tujuan utama para lulusan S1 yang hendak melanjutkan ke jenjang S2 dan S3. Para mahasiswa S2 dan S3 inilah yang menjadi “tulang punggung” para akademisi di atas untuk menghasilkan publikasi. Ibaratnya, para akademisi di PTN itu mendapatkan suplai tenaga riset secara kontinyu setiap tahun yang memastikan riset mereka tetap berjalan. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi di PTS.

Untuk PTS, saya hanya investigasi di universitas saya sendiri saja. Lihat Gambar 5 untuk daftar top 10 Scopus di kampus saya, UII tercinta. Posisi puncak diduduki oleh Prof. Is Fatimah dengan lebih dari 100 pubikasi. Bagi saya, ada peneliti di kampus swasta bisa menghasilkan lebih dari 100 publikasi terindeks Scopus itu sudah prestasi tersendiri.

Gambar 5. Top scopus UII

Daftar lengkap almamater (tidak saya sebut almamameter PhD karena belum semuanya punya gelar S3) kesepuluh orang di Gambar 5 adalah:

  1. Is Fatimah : Universitas Gadjah Mada (Indonesia)
  2. Achmad Chafidz : King Saud University (Arab Saudi)
  3. Muafi : Universitas Brawijaya (Indonesia)
  4. Arif Hidayat : Universitas Gadjah Mada (Indonesia)
  5. Chairul Saleh : Universiti Kebangsaan Malaysia (Malaysia)
  6. Fathul Wahid : University of Agder (Norwegia)
  7. Muhammad Ragil Suryoputro : University of Nottingham (Inggris)
  8. Amarria Dila Sari : Universitas Gadjah Mada (Indonesia)
  9. Teduh Dirgahayu : University of Twente (Belanda)
  10. Riyanto : Universiti Kebangsaan Malaysia (Malaysia)

Yups, di kampus saya terbukti bahwa prestise almameter bukanlah penentu produktifitas. Prof Is Fatimah yang alumni lokal (UGM) ternyata mampu menjadi yang terbaik. Padahal di UII sendiri banyak doktor yang lulusan universitas-universitas dengan prestise tinggi di US, UK, Jerman, Australia, Jepang, dll. Yang no 2 malah lebih unik lagi. Pak Achmad Chafidz ini senior saya sewaktu kuliah di King Saud University (bukan universitas terkenal 😉) dan beliau belum doktor sampai saat ini, tapi publikasinya sudah berjibun.

See what I mean?

Faedah

Dari data di atas, ada beberapa faedah (dalam opini saya) yang bisa dipetik:

  • Asal universitas korelasinya sedikit (saya tidak bilang tidak ada) terhadap performa seorang akademisi dalam hal penelitian dan publikasi. Yang paling berpengaruh tentu saja adalah ketekunan dan kerja keras, serta kepiawaian dalam menjalin kolaborasi dengan peneliti lain.
  • Rekan-rekan yang sedang kuliah di atau alumni universitas-universitas ‘mahal’, semisal di UK dan Australia, dengan biaya dari institusi di Indonesia (Dikti, LPDP, atau yang lain), Anda semestinya bisa produktif dan ndak boleh nglokro saat kembali jadi akademisi di Indonesia. Ingat, konon katanya biaya untuk menyekolahkan 1 orang di program PhD di UK atau Australia setara dengan menyekolahkan 10 orang (atau mungkin lebih?) di program PhD di Malaysia atau Indonesia.
  • Rekan-rekan yang sedang kuliah di atau alumni bukan universitas mentereng (seperti saya, hehe) atau universitas lokal, tetap semangat. Tidak perlu minder, rendah diri, atau punya perasaan inferior. Fakta di atas membuktikan, dengan doa, kerja keras, dan kerja cerdas prestasi tinggi bisa diraih, insya Allah.

Penutup

Barangkali ada yang mengatakan, “Kualitas publikasi hasil penelitian kan tidak selalu berbanding lurus dengan kuantitas-nya” atau “Sebagian peneliti mungkin jumlah publikasinya tidak terlalu banyak, tapi impact factor-nya besar-besar”. Kita katakan, ya memang benar seperti itu. Tulisan ini memang hanya sebatas melihat kuantitas yang tertampil di Scopus saja. Saya juga tidak melihat bagaimana publikasi-publikasi itu dihasilkan: apakah melalui cara-cara yang beretika atau hanya sekedar ‘numpang nama’ alias gift authorship. Lagipula, saya memang sedang tidak mendiskreditkan lulusan universitas tertentu. Tujuan besar saya hanya untuk menyemangati kita semua untuk tetap semangat berkontribusi regardless kita pernah kuliah di mana. Pokoknya lifelong learning 💪💪💪. Jadi, menurut Anda pertanyaan sebagaimana di judul tulisan (tentu dengan tanda petik) apakah masih relevan? Silakan direnungkan.