Sebenarnya, syarat untuk bisa menjadi dosen di Indonesia tidak begitu sulit dari sisi level pendidikan. Pemegang ijazah S2 sudah eligible untuk melamar posisi dosen di banyak universitas. Bandingkan dengan kondisi di beberapa negara lain, yang mana untuk menjadi dosen harus sudah memiliki gelar S3. Beberapa universitas bahkan mensyaratkan pengalaman postdoctoral. Sebuah jalan yang panjang.

Namun ketika sudah memutuskan untuk berkarir di dunia akademik sebagai dosen, pendidikan S3 merupakan “keharusan” bagi pemegang ijazah S2. Menunda-nunda S3 bukan pilihan yang bijak, karena semakin tua akan semakin banyak variabel yang harus dipertimbangkan. Proses mencari S3 sebenarnya tidak terlalu susah, menurut saya. Yang susah itu dapat beasiswanya.

Saya pribadi tidak terlalu memusingkan harus sekolah S3 dimana, apalagi secara die hard mematok target di suatu negara. Sekolah S3 di manapun tidak terlalu masalah, yang penting proses menuju ke sana tidak butuh banyak modal, hehe. Tapi nyatanya, banyak juga modal yang keluar. That’s life of a scholarship hunter.

Saya mulai cari beasiswa S3 dari tahun 2013. Alhamdulillah, berangkat awal 2020, tepat sebelum COVID19 mewabah di seluruh dunia. Ada beberapa catatan yang ingin saya share di sini seputar universitas-universitas yang pernah saya daftar untuk PhD:

Ecole Centrale de Lyon, France

  • Sewaktu mengerjakan thesis MSc di King Saud University, jurusan menunjuk Prof Abderrahmane Beroual dari Prancis sebagai co-supervisor. Dari beliau-lah, saya tahu banyak mengenai Ecole Centrale de Lyon.
  • Selepas lulus S2 selang beberapa bulan, saya resmi apply PhD di Centrale de Lyon ini dengan mengirimkan beberapa dokumen ke beliau. Amazing, dalam hitungan hari (tidak sampai seminggu) saya sudah dikirimi seperangkat LoA dalam bahasa Prancis: LoA dari beliau sebagai supervisor, LoA dari Ampere Lab, dan LoA dari Doctoral School. Dokumen yang saya kirimkan pun cukup minimalis, tanpa perlu TOEFL atau IELTS dan tanpa sertifikat bahasa Prancis.
  • Ending: batal menempuh PhD di sini karena tiada beasiswa. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.

University of Southampton, UK

  • Saya mendaftar di universitas ini karena di sana ada Toni Davies High Voltage Lab, kelihatannya salah satu yang terbaik di UK.
  • Mendaftar dengan modal skor TOEFL-ITP 580, saya dapat Conditional Offer di Desember 2013. Kenapa conditional? Karena TOEFL-ITP, sesuai prediksi, tidak diterima dan harus submit skor IELTS untuk mengubah offer letter-nya menjadi unconditional.
  • Mei 2014, tes IELTS untuk kali pertama. Alhamdulillah skor-nya lumayan. Langsung kirim ke tim admission di Soton, dan tak berapa lama dapat kiriman Unconditional Offer.
  • Sembari mengurus admission di Soton ini, saya juga telah mendaftar di salah satu beasiswa pemerintah Indonesia. Alhamdulillah dapat, sehingga bisa lanjut ke pengurusan visa UK.
  • Ending: karena terganjal di medical check untuk visa karena kondisi kesehatan (baca: merasa sehat ≠ sehat), saya putuskan batal berangkat dan mengundurkan diri dari Soton. Mencoba mendaftar di universitas di negara yang proses visa-nya tidak memerlukan medical check-up, jatuhlah pilihan di Aalto University 👇.

Aalto University, Finland

  • Saya mendaftar di universitas ini tahun 2014. Kenapa Aalto? Selain karena alasan med-check di atas, mendaftar PhD di Aalto tidak memerlukan surat rekomendasi. Artinya, saya tidak perlu kontak2 pembimbing S2 dan merepotkan beliau untuk membuat surat rekomendasi lagi.
  • Poin negatif-nya, meskipun admisi-nya tidak dipungut biaya, tetapi berkas fisik (hardcopy) pendaftaran harus dikirim secara langsung. Saya masih ingat waktu itu habis sekitar 300an-ribu untuk kirim dokumen ke Espoo menggunakan jasa EMS POS.
  • November 2014, alhamdulillah dapat LoA untuk PhD di bawah bimbingan Prof Matti Lehtonen. Beasiswa yang awalnya untuk ke Soton di atas, alhamdulillah bisa dialihkan ke Aalto. Tinggal urus visa ke Finland.
  • Ending: batal urus visa karena di waktu yang tidak terlalu jauh saya diterima CPNS untuk posisi dosen di sebuah politeknik di Surabaya. Saya pun mengundurkan diri dari beasiswa. Antiklimaks!!! 😅

University of Malaya, Malaysia

  • Mendaftar di universitas ini akhir tahun 2017, pas saya sudah pindah ke UII.
  • Untuk mendaftar di universitas ini, harus bayar 60 USD sebagai admission fee.
  • Februari 2018, dapat LoA untuk PhD di bawah bimbingan Prof Hazlie Mokhlis.
  • Ending: gagal berangkat karena tak ada beasiswa. Ada beasiswa Malaysian International Scholarship (MIS) sebenarnya, tapi dokumen yang harus disiapkan berjibun, termasuk harus ada surat rekomendasi dari pembimbing sebelumnya. Fix, saya malas menyiapkan ini.

United Arab Emirates University, UAE

  • Mendaftar di UAEU dua kali, tahun 2018 dan 2019.
  • Uniknya, untuk mendaftar PhD di sini, sertifikat bahasa yang diterima hanya dua, TOEFL-iBT dan IELTS. Tapi, IELTS yang diterima hanya yang dari British Council. Karena punya saya dari IDP, otomatis tidak berlaku. Alhamdulillah calon supervisor berbaik hati membiayai tes IELTS lagi di British Council.
  • Tahun 2018, dapat admission dengan Fellowship tapi tidak saya teruskan karena Fellowship hanya mencakup uang kuliah. Tidak ada monthly stipend dll.
  • Tahun 2019, dapat admission dengan Scholarship yang mencakup biaya kuliah & monthly stipend. Jumlahnya sangat2 lumayan (beasiswa idaman lah kalau dilihat dari nominalnya).
  • Ending: qaddarullah pas mau ngurus visa keberangkatan ke UAE, saya sakit sehingga tidak bisa lanjut. Admission juga tidak bisa di-defer ke next semester, apalagi next year. Bukan rejekinya :)

Curtin University, Australia

  • Daftar di Curtin tahun 2018. Proses pendaftaran cukup mudah, secara online, dan tidak ada admission fee.
  • Calon supervisor saya adalah Assoc. Prof. Ahmed Abu-Siada. Pertama kali saya email, beliau apresiasi CV saya 😑 dan mendukung saya untuk apply research scholarship-nya Curtin.
  • September 2018 alhamdulillah dapat kirimin Offer Letter. Pengumuman beasiswa baru dikasih tiga bulan kemudian.
  • Ending: gagal berangkat karena tidak lolos seleksi research scholarship Curtin.

Universiti Sains Malaysia, Malaysia

  • Mendaftar USM di akhir 2019, dengan admission fee sebesar 40 USD.
  • Dapat LoA untuk PhD di akhir 2019 juga, dengan supervisor Assoc. Prof. Mohamad Kamarol.
  • Ending: tidak lanjut karena tidak ada beasiswa yang bisa di-apply.

Auckland University of Technology, New Zealand

  • NZ: negara indah yang kelihatannya ramah terhadap muslim, apalagi melihat respon Jacinda Ardern sewaktu terjadi penembakan di masjid di Christchurch.Setelah searching2 beberapa professor di NZ, ketemu nama Dr. Ramon Zamora. Beliau akademisi asli Indonesia yang berkarir di AUT. Walhasil, langsung saya kontak beliau untuk menanyakan kemungkinan PhD di sana.
  • Respon beliau bagus dan beliau support saya untuk apply Vice-Chancellor Doctoral Scholarship-nya AUT.
  • April 2019 dinyatakan diterima PhD namun belum ada pengumuman beasiswa.
  • Ending: gagal berangkat karena aplikasi Vice-Chancellor Doctoral Scholarship tidak diterima alias ndak dapat beasiswa.

King Abdulaziz University, Saudi Arabia

  • Satu negara dengan almamater S2 saya. Sewaktu saya S2, sudah tahu banyak mengenai KAU ini dan tahu beberapa mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana.
  • Saya mendaftar PhD (dan beasiswanya) di sini bulan Februari 2018.
  • Ending: diterima, berangkat Januari 2020, dan saat ini resmi terdaftar sebagai mahasiswa PhD di sini. Walhamdulillah

Universitas-universitas di atas adalah yang memberi saya LoA atau Offer Letter. Di luar itu, sebenarnya saya juga usaha apply S3 di banyak universitas lain. Di Jerman, terhitung ada sekian profesor dari sekitar 10 universitas yang saya kontak. Hanya 1 yang balas, dari Uni Stuttgart, itupun menolak. Di Jepang juga demikian. Saya ingat pernah mengontak profesor di Todai, Tokodai, Kyudai, Kumadai, Nagoya Univ, dan Ritsumeikan Univ. Dua membalas, tapi dua-dua nya menolak. Bukan rejekinya.

PENUTUP

Alhamdulillah Allah tetapkan rejeki saya di KAU. Dari pengalaman mendaftar di sekian universitas di atas, proses pendaftaran di KAU boleh dikatakan yang paling mudah dan simpel.